Budidaya Buat Semua |
sangat besar. Pada Tahun 2004, China sudah berhasil memproduksi belut sebanyak 137.486 ton per tahun. Keterbatasan pengem-
bangan belut di Indonesia diduga akibat masih relatif mudah mendapatkan belut dari hasil tangkapan alam dan belum adanya pengembangan teknologi budidaya yang dapat diaplikasikan di masyarakat.
Kebanyakan belut yang tersedia di pasaran merupakan belut hasil tangkapan alam. Berbagai cara tangkap dapat dilakukan, antara lain tangkap tangan langsung, menggunakan penjepit, menggunakan bubu/sosok/perangkap, menggunakan pancing, menggunakan racun, dan menggunakan arus listrik (stroom). Namun demikian, penangkapan tersebut belum mempertimbangkan stok alami sehingga ketersediaannya dapat terancam. Selain itu, penangkapan hanya dapat dilakukan pada musim hujan sehingga suplai belut tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Sejauh ini, upaya budidaya belut yang sudah dilakukan masih harus menggunakan campuran lumpur dengan bahan organik lainnya sebagai media alami habitat belut. Pada teknik budidaya seperti itu, kontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup belut sulit dilakukan karena hidup di dalam lumpur. Karena budidaya tidak terkontrol, upaya intensifikasi budidaya belut sulit dilakukan sehingga produksi belut relatif sulit diprediksi. Hal ini berbeda dengan di Cina. Di negara tersebut, produksi belut secara terkontrol telah dapat dilakukan baik dengan menggunakan sistem berbasis lumpur maupun dengan menggunakan jaring apung atau hapa. Penggunaan hapa bagi budidaya belut sangat potensial dikembangkan, selain bisa dilakukan di banyak daerah juga dapat dilakukan pada skala rumah tangga ataupun skala besar.
Dari berbagai kasus yang ditemui, kendala yang banyak ditemukan di masyarakat untuk pengembangan budidaya adalah keterbatasan sumber benih belut, baik dari sumber tangkapan maupun budidaya. Bila menggunakan belut hasil tangkapan, kondisi biologis belut relatif beragam, bergantung pada cara dan alat penangkapan, wadah dan lama waktu penampungan sementara di pengumpul dan pengangkutan. Penangkapan belut dengan cara tangkap tangan, dengan penjepit, atau dengan bubu relatif lebih menghasilkan belut yang sehat. Penangkapan belut dengan stroom diyakini kurang baik bagi pertumbuhan lanjutan belut meskipun belum ada penelitian yang menegaskan kondisi tersebut. Wadah penampungan sementara dapat menggunakan bak tembok ataupun bak plastik. Pada bak penampungan, tinggi air 10 -15 cm dan diberi aliran air. Pakan alami berupa ikan-ikan kecil, misalnya ikan seribu, selalu tersedia. Lama penampungan sekitar 2- 4 hari. Pengangkutan belut dapat dilakukan dengan sistem terbuka, belut dimasukkan ke dalam jerigen yang diberi air. Pengangkutan belut dengan cara seperti ini dapat digunakan untuk perjalanan 3 – 4 jam. Selama pengangkutan diupayakan pada temperatur rendah. Namun harus hari-hati dengan penggunaan es karena temperatur yang terlalu dingin justru akan berakibat stres bahkan kematian pada belut.
Pengenalan kondisi belut hasil tangkapan sangat diperlukan sebelum belut dipergunakan untuk budidaya. Pengenalan ini dilakukan sekaligus pada masa adaptasi belut untuk pemelihraan tanpa media lumpur. Untuk pengenalan kondisinya, belut hasil tangkapan dapat ditebar pada bak dengan air bersih. Belut yang sehat menunjukkan perilaku yang langsung menyebar dan berenang mengitari bak sedangkan belut yang tidak sehat biasanya ditunjukkan dengan kepala yang tegak ke permukaan dan terdapat warna kemerahan pada bagian tubuhnya. Belut yang tidak sehat biasanya mengalami kematian yang cukup tinggi pada minggu pertama adaptasi pada bak.
Beragam bahan pelindung dapat digunakan pada masa adaptasi, di antaranya potongan pipa paralon, tanaman air kayu apu (Pistia Stratiotes), tanaman air eceng gondok (Eichhornia Crassipes) atau serat karung. Pada beragam bahan pelindung, belut menunjukkan perilaku hidup secara komunal. Pada potongan pipa paralon, belut memenuhi rongga pipa yang sama meskipun masih tersedia potongan lain yang kosong. Pada tanaman air kayu apu yang bersifat rapat menutupi permukaan air, belut mengumpul pada beberapa titik dengan kepala yang menyembul ke permukaan. Pada tanaman air eceng gondok yang bersifat lebih renggang, belut bersama-sama menggantung pada tangkai daun di permukaan air. Sedangkan pada serat karung, belut menunjukkan perilaku yang relatif sama dengan pada tanaman air yang rapat.
Selama masa adaptasi, belut diberi makan ikan seribu yang harus selalu tersedia di bak. Respon belut terhadap pakan pada beragam bahan pelindung menunjukkan perilaku yang berbeda. Pada tanaman air yang rapat dan serat karung menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada bahan pelindung lain atau yang tanpa pelindung. Bila belut sudah menunjukkan respon memakan pakan alami, secara berangsur dapat mulai diberikan pakan buatan. Pakan buatan dapat berupa tepung ikan atau pakan komersial yang ditepungkan. Tepung kemudian dicampur dengan cacing rambut sehingga membentuk pasta. Pada tahap awal, proporsi cacing lebih tinggi dibandingkan dengan tepung namun kemudian diturunkan secara berangsur hingga hanya tepung saja. Bila berespon terhadap pakan dan relatif tidak ada kematian pada bak adaptasi, pemeliharaan belut tanpa media lumpur siap dilakukan.
Pemeliharaan belut di hapa yang dipasang di kolam lebih berpeluang dikembangkan dibandingkan dengan menggunakan bak plastik. Pemeliharaan di hapa menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan dalam bak plastik. Pemeliharaan belut di dalam hapa tidak menunjukkan adanya respon stress selama pemeliharaan, baik secara fisiologis (kadar glukosa darah) maupun warna tubuh. Pemeliharaan dapat dilakukan pada hapa ukuran 2 x 1 x 1 meter. Sekitar setengah bagian hapa terendam dalam air sedangkan sisanya tetap di permukaan. Belut dengan ukuran kisaran 100 ekor/kg dapat ditebar dalam hapa dengan kepadatan sekitar 50 – 100 ekor. Kelangsungan hidup pada hapa masih dapat mencapai 80% namun pemberian pakan dengan pakan buatan masih belum menghasilkan pertumbuhan yang diharapkan. Kondisi ini dapat dimengerti, mengingat belum tersedia pakan khusus untuk belut di pasaran. Sementara bila menggantungkan pada pakan alami, dikhawatirkan suplainya akan terbatas apalagi bila budidaya belut sudah semakin berkembang.
Beragam bahan pelindung dapat digunakan pada masa adaptasi, di antaranya potongan pipa paralon, tanaman air kayu apu (Pistia Stratiotes), tanaman air eceng gondok (Eichhornia Crassipes) atau serat karung. Pada beragam bahan pelindung, belut menunjukkan perilaku hidup secara komunal. Pada potongan pipa paralon, belut memenuhi rongga pipa yang sama meskipun masih tersedia potongan lain yang kosong. Pada tanaman air kayu apu yang bersifat rapat menutupi permukaan air, belut mengumpul pada beberapa titik dengan kepala yang menyembul ke permukaan. Pada tanaman air eceng gondok yang bersifat lebih renggang, belut bersama-sama menggantung pada tangkai daun di permukaan air. Sedangkan pada serat karung, belut menunjukkan perilaku yang relatif sama dengan pada tanaman air yang rapat.
Selama masa adaptasi, belut diberi makan ikan seribu yang harus selalu tersedia di bak. Respon belut terhadap pakan pada beragam bahan pelindung menunjukkan perilaku yang berbeda. Pada tanaman air yang rapat dan serat karung menunjukkan tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada bahan pelindung lain atau yang tanpa pelindung. Bila belut sudah menunjukkan respon memakan pakan alami, secara berangsur dapat mulai diberikan pakan buatan. Pakan buatan dapat berupa tepung ikan atau pakan komersial yang ditepungkan. Tepung kemudian dicampur dengan cacing rambut sehingga membentuk pasta. Pada tahap awal, proporsi cacing lebih tinggi dibandingkan dengan tepung namun kemudian diturunkan secara berangsur hingga hanya tepung saja. Bila berespon terhadap pakan dan relatif tidak ada kematian pada bak adaptasi, pemeliharaan belut tanpa media lumpur siap dilakukan.
Pemeliharaan belut di hapa yang dipasang di kolam lebih berpeluang dikembangkan dibandingkan dengan menggunakan bak plastik. Pemeliharaan di hapa menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan dalam bak plastik. Pemeliharaan belut di dalam hapa tidak menunjukkan adanya respon stress selama pemeliharaan, baik secara fisiologis (kadar glukosa darah) maupun warna tubuh. Pemeliharaan dapat dilakukan pada hapa ukuran 2 x 1 x 1 meter. Sekitar setengah bagian hapa terendam dalam air sedangkan sisanya tetap di permukaan. Belut dengan ukuran kisaran 100 ekor/kg dapat ditebar dalam hapa dengan kepadatan sekitar 50 – 100 ekor. Kelangsungan hidup pada hapa masih dapat mencapai 80% namun pemberian pakan dengan pakan buatan masih belum menghasilkan pertumbuhan yang diharapkan. Kondisi ini dapat dimengerti, mengingat belum tersedia pakan khusus untuk belut di pasaran. Sementara bila menggantungkan pada pakan alami, dikhawatirkan suplainya akan terbatas apalagi bila budidaya belut sudah semakin berkembang.
Selain masalah pakan, pengembangan budidaya belut dihadapkan pada keterbatasan suplai benih. Idealnya, proses pembesaran belut menggunakan sumber benih hasil budidaya. Namun hingga saat ini belum ada teknik pemijahan belut, baik alami ataupun buatan, yang dapat terjamin berhasil apalagi bisa diterapkan dalam skala luas di masyarakat. Proses budidaya yang sekarang ini sudah dilakukan dengan sistem lumpur memang sudah bisa menghasilkan anakan belut secara alami di bak. Namun lagi-lagi, jumlah yang dihasilkan tidak dapat terkontrol, baik jumlah maupun ukuran. Bahwa belut diyakini sebagai hewan hewan yang hermaprodit, dapat berubah kelamin dari betina menjadi jantan, memang sudah banyak penelitian. Namun, kapan terjadinya perubahan tersebut dan apakah semua belut berubah kelamin belum diketahui. Karena itu, perlu usaha yang serius untuk penelitian mengenai aspek reproduksi belut baik oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat pembudidaya demi mewujudkan budidaya belut yang efektif dan ekonomis.
By. Budidaya Buat Semua
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar